KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT
dengan berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan “MAKALAH MSI”. Shalawat
beriring salam tidak lupa juga kami sanjungkan kepada keharibaan Nabi besar
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju alam yang
berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini.
Penulisan makalah ini dapat
terselesaikan berkat kerja sama kelompok dalam mempartisipasikan diri baik
secara waktu, pemikiran, bahkan secara financial yang tidak mengenal kata lelah
sehingga terangkullah semua bahan yang dikreasikan dengan ide tim kelompok
untuk menjadi sebuah
makalah.
Kata sempurna penulis dengan kerendahan hati sangat
menyadari masih jauh dari penulisan
makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
guna untuk memperbaiki makalah ini ke masa yang akan datang. Akhir kata semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri dan kawan-kawan
semua.
Banda
Aceh, 09
November 2013
Kelompok
1
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir
yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk
dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat
menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman,
al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik
informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
Hal ini merupakan salah satu bukti tentang
keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang
diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan
menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih
tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan
kehidupan modern. Al-Quran
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara berangsur- angsur dalam tempo 23
tahun.
Turunnya
di berbagai tempat. Kadangkala beriringan, kadang ada jarak waktu. Akan tetapi
turun secara bertahap, tidak sekaligus, karena adanya hikmah yang telah disebutkan
Allah dalam al-Quran al-Karim: Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa
al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya
Kami
perkuat hatimu dengannya. (TQS. al-Furqan [25]: 32) Maksudnya,
al-Quran diturunkan secara terpisah-pisah untuk Kami perkuatkan hati engkau
(Muhammad) sehingga engkau menyadarinya dan menghafalnya. Allah Swt berfirman: Dan
al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian. (TQS. al-Isra [17]:106).
Maksudnya, al-Quran yang telah Kami
turunkan secara berangsurangsur dan terpisah-pisah dengan cara perlahan-lahan,
yaitu dengan proses, ketentuan dan ketetapan yang pasti. Kami telah
menurunkannya tidak sekaligus. Maksudnya, sesuai dengan peristiwa-peristiwa
yang
terjadi.
Semua itu untuk mengukuhkan hati Rasulullah saw, untuk memudahkan pembacaannya terhadap
manusia secara perlahan-lahan, dan diturunkan sesuai dengan peristiwa yang
terjadi serta sebagai jawaban terhadap orang-orang yang bertanya. Al-Quran
diturunkan secara berangsur-angsur dan terpisah-pisah dalam rentang waktu 23 tahun
lamanya.
Al-Quran
diturunkan kepada Rasulullah saw, kemudian diperintahkan untuk menghafalnya di
dalam dada, dan menuliskannya di lembaran yang bisa ditulis, seperti kulit,
dedaunan atau yang lainnya, juga pada tulang yang lurus memanjang, pelepah
kurma atau
pada
batu tipis. Apabi la ayat-ayat telah diturunkan, beliau memerintahkan untuk
meletakkan pada tempat kedudukan suratsuratnya.
Beliau berkata kepada para sahabat:
‘Urutkanlah oleh kalian ayat ini pada surat ini setelah ayat ini’. Mereka lalu
meletakkan ayat tersebut sesuai pada tempat suratnya. Dari Utsman ra berkata,
adalah Nabi saw setelah menerima ayat-ayat, beliau bersabda: ‘Letakkan ayat ke
dalam surat yang menyebutkan tentang ini’ (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Begitulah
seterusnya hingga al-Quran diturunkan seluruhnya sampai Rasul wafat, ber temu
dengan Dzat Yang Mahatinggi, setelah al-Quran mencapai titik kesempurnaannya.
Jadi, susunan ayat-ayat yang terkandung dalam setiap surat pada mushaf sekarang
ini adalah bersifat tauqifi dari Nabi saw melalui malaikat Jibril yang berasal
dari Allah Swt.
Dengan kata lain sistematika (susunannya)
berasal dari Allah Swt. Seluruh ayat (al-Quran) telah sampai kepada umat
melalui Nabi saw dan sama sekali tidak ada perselisihan. Susunan ayat-ayat di
dalam surat-surat seperti yang kita lihat sekarang ini merupakan bentuk yang
diperintahkan oleh Rasulullah saw. Susunan seperti itu pula yang tertulis pada
lembaranlembaran,tulang-tulang, daun-daun, batu tipis maupun yang telah dihafal
di dalam dada. Karena itu susunan ayat-ayat yang terdapat di dalam surat-surat
merupakan kepastian dan bersifat tauqifi dari Rasulullah, dari Jibril dan dari
Allah Swt.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Al-Qur’an
a. Pengertian al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua
aspek, sebagai berikut:
1)Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim
dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi
makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan,
adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran. Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
ان عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَه .
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَه
Artinya: Sesungguhnya
atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu
pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan
tersebut” (al-Qiyamah: 17-18)
2)Aspek Terminologi
Ditinjau
dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan
oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan
al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan
sebutan al-kitab.
As-Shabuni
mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman
Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam
beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dr. Subhi
Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang
mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf
serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Allah menurunkan al-Qur’an kepada
Rasulullah saw untuk memberi petunjuk kepadamanusia. Turunnya al-Qur’an
merupakan peristiwa besar. Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul
qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari
malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh
Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik.
Turunnya
al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang
sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul
dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah
menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.
Kehujjahan Al-Qur’an
Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf,bahwa
kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang
sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu
betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh
karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan
aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti
kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah
sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini
berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan
manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan
al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya
tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Bagi Mu’tazilah
al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal
pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh
akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal
walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran
dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang
memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan
penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia
berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara
mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam
hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai
dalam kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi)
Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua
kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal
diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di
mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran
Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
Metode Penafsiran Al-Qur’an
Dalam
perkembangannya metode tafsir terbagi dalam empat metode, yaitu:
1. Metode
Ijmaly(Global)
Metode
ijmaly adalah metode yang menjelaskan al-Qur’an secara ringkas, tetapi
mencangkup semua, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf .
2. Metode
Tahlily(Analisis)
Metode
tahlily adalah metode penafsiran ayat- ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan
makna-makna yang tercangkup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufassir dalam menafsirkan ayat.
3. Metode
Muqarin(Komperatif)
Definisi
metode ini jika dilihat dari berbagai temperatur dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a.
Membandingkan teks(nash) ayat-ayat al-Qur’an yan memiliki persamaan atau
kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau redaksi yang berbeda bagi
satu kasus yang sama.
b.
Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang pada lahirnya terdapat
pertentangan.
c.
Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
4. Metode
Maudlu’i(Tematik)
Metode
Tematik dapat difahami sebagai pembahasan yang berkisar pada tema yang telah
ditetapkan.
5. Metode
Terjemah
Terjemah
memunyai beberapa makna sebagai berikut:
a.
Menyampaikan pembicaraan kepada orang yang belum pernah menerimanya.
b.
Menjelaskan kalam dengan memakai bahasa kalam itu sendiri. Seperti menafsirkan
al-Qur’an dengan bahasa al-Qur’an(bahasa arab) termasuk dalam menerjemahkan .
c.
Menjelaskan kalam dengan bahasa lain. Misalnya menerjemahkan kedalam bahasa
indonesia besert apenjelasannya.
d.
Menaglihkan pembicaraan dari satu bahasa kebahasa lainnya(alih bahasa).
Terjemah
dapat dibagi menjadi dua jenis:
1.
Terjemah Harfiyyah
Terjemah
harfiyyah adalah terjemah yang dalam pengungkapan maknanyaterlalu terikat
dengan suasana kata perkata yang ada pada bahasa pertama dan makna-makna yang
terungkap hanya berupa kosakata. Terjemah ini dalam praktiknya hanya menyoroti
kata perkata yang ada, lalu memahaminya satu-persatu.
2.
Terjemah Tafsiriyyah
Terjemah
tafsiriyyah adalah tejemah yang tidak terikat dengan suasana kata perkata yang
ada dalam bahasa pertama. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana mengungkapkan
makna-makna yang dikehendaki dengan sebai-baiknya. Sehingga disebut juga dengan
terjemah ma’nawiyyah, karena dalam penggambaran makna-makna yang dikehendaki
itu menjadikannya serupa dengan tafsir, walaupun bukan tarsir.
Inti dari
terjemah adalah menjelaskan dari satu bahasa yang tak dikuasai kedalam bahasa
yang dikuasai.
F. Metode
Ta’wil
Ta’wil
secara etimologi memunyai pengertian yang sama dengan tafsir yakni menerangkan
dan menjelaskan. Kata ta’wil sendiri memiki makna memalingkan, yakni
memalingkan suatu lafad tertentu yang memunyai sifat khusus, dari makna lahir
kedalam makna batin lafaz itu karenaa ada ketepatan dan keserasian dengan
maksud yang dituju.
A. Fungsi
Al-Qur’an
Subhi Sholih mengemukakan bahwa Al-Qur'an berarti bacaan. Ia
merupakan kata turunan dari kata qara'a dengan arti ism al-maf'ul,
yaitu maqru' yang artinya dibaca. Pengertian ini merujuk pada firman Allahk :
“Sesungguhnya atas tangguhan
Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya.
Apabila Kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu.” (QS
al-Qiyamah: 17-18)
Selanjutnya kata al-Qur'an digunakan
untuk menunjukkan kalam Allahkyang diwahyukan kepada Nabi Muhammad n, adapun kalam Allahkyang diwahyukan kepada para Nabi
selainya, maka tidak dinamakan al-Qur'an.
Fath Ridwan menyebutkan ikhtilaf
ulama' tentang penamaan al-Qur'an: Pertama, al-Qur'an adalah nama khusus
untuk wahyu Allahkyang diberikan kepada nabi Muhammad n. Kedua, nama
diambil dari kata qoro'in (petunjuk atau indikator) atau dari kata al-qor'u
(kumpulan). Ketiga, ulama' yang memberikan nam-nama lain bagi al-Qur'an,
seperti al-kitab, an- nur, ar- rohmah dll.
Adapun Abu Hasan al-Haroli dan Abd
al-Ma'ali Syizalah masing-masing memberikan nama bagi al-Quran sebanyak 90 dan
55 macam. Menurut Shubhi Sholih penamaan yang begitu banyak akan menimbulkan
pencampuradukan antara nama-nama dan sifat-sifat al-Qur'an sehingga ia kurang
setuju dengan hal itu.
Fungsi al-Qur'an sesungguhnya telah
tersirat pada nama-nama tersebut, diantaranya:
a. al-Huda (petunjuk). Dalam
fungsi ini ada tiga kategori, pertama, al-Qur'an sebagai petunjuk manusia
secara umum (al-Baqoroh:185). Kedua, al-Qur'an petunjuk bagi orang -orang yang
bertakwa (al-Baqoroh:2). Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman
(Fushilat: 44 dan Yunus: 57).
b. al-Furqon (pembeda).
Disebutkan dalam al-Qur'an bahwa ia adalah pembeda antara yang hak dengan yang
batil (QS. al-Baqoroh :185)
c. al-Syifa (obat). Al-Qur'an
juga sebagai obat penyakit dalam dada/psikologis (QS. Yunus:57)
d. al-Mauidzoh (nasihat).
Al-Qurann juga sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertakwa (QS.Ali Imron:
138)
Demikian fungsi al-Quran yang
diambil dari al-Quran itu sendiri, adapun fungsi al-Quran yang diambil dari
penghayatan seseorang, maka itu tergantung dengan kualitas ketakwaan orang itu
sendiri.
Al-Qur’an
sebagai kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad tidak hanya
ditujukan bagi umat islam saja, melainkan kepada seluruh umat manusia. Hal ini
selaras dengan funsi diturunkannya al-Qur’an, yakni:
a. Sebagai bukti kerasulan Muhammad
dan kebenaran ajaran yang dibawanya.
b. Petunjuk tentang ketauhidan.
c. Petunjuk tentang akhlakul karimah yang menerangkan konsep
hubungan individu atau kelompok secara vertikal dan horizontal
d. Petukjuk syariah yang memberikan
jalan keadilan demi terciptanya hidup yang teratur dan damai.
Fungsi al-Qur’an dapat kita
simpulkan sebagai: Hujjah umat manusia yang merupakan sumber nilai obyektif,
universal dan abadi. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an yang merupakan sumber
ilmu. Ayat-ayat Allah terbagi menjadi dua macam: ayat-ayat qouniyah dan
qouliyah. Dalam al-Qur’an menjadi sumber dari berbagai aturan tentang hukum,
ekonomi, budaya, pendidikan, moral dan sebagainya yang harus dijadikan pedoman
umat manusia dalam memecahkan masalah.
B.
AL-QUR'AN SEBAGAI FIRMAN ALLAH
Ulama
menyebutkan bahwa hakikat al-Qur'an adalah kalam Allahkyang disampaikan kepada nabi
Muhammad n. Al-Quran penuh dengan ilmu dan bebas dari keraguan (QS
al-Baqoroh:2), kecurangan (QS An-Naml:1), pertentangan (QS. an-Nisa': 82), dan
kejahilan (QS asy-Syura:210).
Al-Quran
itu murni firman Allahkdan
bukan ciptaan Muhammad n. Allahkmenantang
dan mengancam siapa saja yang meragukan atau menentang otentisitas al-Quran
sebagai firman Allahk
dalam
surat al-Baqoroh: 23-24.
Ada
pula manusia yang meragukan dan menganggap bahwa al-Quran telah diintervensi
manusia, kemudian Allahkmenjamin
bahwa al-Quran itu terpelihara dengan sebaik-baiknya (QS. Al-Hijr: 9)-.
C.'ULUM
AL-QUR'AN DAN TAFSIR
Al-Quran
diturunkan secara bertahap dan ia tidak hampa dari sosial, sehingga banyak
dijumpai ayat yang turun sebagai jawaban dari permasalahan manusia. Proses pewahyuan
berlangsung 23 tahun, 13 tahun di Makah sebelum nabi n hijroh ke Madinah, dan
10 tahun setelah nabi hijroh ke Madinah.(Muhaimin dkk, 1994;89)
M.
Quraish Shihab (1995; 35-38) membagi proses pewahyuan menjadi tiga periode. Pertama,
periode saat Muhammad n bersetatus Nabi dengan diterimanya surat al-Alaq,
kemdian menjadi rosul setelah menerima QS al-Muddatsir 1-2. Inilah ayat-ayat makiyyah
yang mengandung tiga hal yaitu pedidikan bagi rosul, pengetahuan tentang Allahk , dan ajaran tentang dasar-dasar akhlak
islamiyah.
Kedua, periode pertarungan antara umat islam dengan orang
jahiliyah sekitar 8-9 tahun. Hal ini ada dalam surat an-Nahl: 25, Fushilat: 13,
Yasin 78-82.
Ketiga, peride kebebasan umat islam di Madinah yaitu sekitar 10
tahun, ayat-ayat yang turun disebut ayat madaniyyah.
M.
Quroish Shihab menyebutkan bahwa al-Qur'an mengandung 77.439 kata dan 323.015
huruf. Menurut Abd al-Rohman as-Salami, al-Suyuti, dan al-Lusi secara
berturut-turut jumlah ayat al-Qur'an adalah 6.326 ayat, 6000 ayat, 6.616 ayat.
Perbedaan disebabkan masuk dan tidaknya kalimat basmalah dan fawatir
al-suwar. Kemudian Jumlah ayat dibagi jadi 554 ruku', 30 juz dan 114 surat.
Dilihat
dari panajg pendknya dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
- Al-Sab'al tiwal, yaitu tujuh surat panjang
seperti al-Baqoroh, ali Imron, an-Nisa', al-A'rof, al-An'am, al-Maidah,
dan Yunus.
- Al-Mi'un, surat-surat yang memuat 100
ayat lebih seperti surat Hud, Yusuf, dan al-Mu'min.
- Al-Matsani, surat yang kurang dari 100
ayat seperti al-Anfal dan al-Hijr.
- Al-Mufashol, surat-surat pendek seperti
an-Nas, al-Falaq, dan al-Kafirun.
Cara
turunnya wahyu ada empat macam, yaitu:
- Malaikat memasukan wahyu kedada
nabi Muhammad n.
- Malaikat datang dengan bentuk
seorang laki-laki kepada Muhammad n.
- Malaikat menampakkan dirinya
dengan rupa aslinya.
- Wahyu datang kepada nabi
seperti gemerincing lonceng.
Pada
masa nabi n al-Qur'an hanya di tulis di pelepah kurma, lempengan batu, dan
kepingan tulang serta dihafal, hingga datang masa khulfaurrosyidin al-Qur'an
dibukukan. Pada masa Abu Bakar baru proses pengumpulan dalam bentuk mushaf dan
disimpan di rumah Abu Bakar. Pada zaman Umar bin Khotob mushaf disimpan di
rumahnya dan setelah belilau meninggal dunia disimpan di rumah Hafsoh. Hingga
datang zaman Utsman bin Affan al-Quran baru disempurnakan dan disebut dengan
mushaf utsmani. Kemudian digandakan dan dikirim ke berbagai wilayah kaum
muslimin dan dijadikan standar untuk pencetakan pada tahun-tahun setelahnya.
Beralih
ke kandungan ayat, menurut tim yang dibentuk oleh Departemen Agama Republik
Indonesia (1985; 84-85) al-Qur'an mengandung pesan-pesan tentang tauhid,
ibadah, jalan kebahagiaan dunia akhirat dan cerita tentang sejarah orang-orang
terdahulu.
Diliahat
dari sisi jalas dan tidaknya, para ulama mengelompokkan ayat-ayat al-Qur'an
menjadi dua; ayat-ayat yang jelas (muhkamat) dan yang membutuhkan
tafsiran lebih lanjut (mutasyabihat).
Adapun
pengertian tafsir secara bahasa adalah penjelasan dan keterangan (al-idlah
wa al-bayan) (Muhammad Husaeni al-Dzahabi, 1976:13). Dia berasal dari wazan
taf'il dari kata fassara yang berarti menerangkan, membuka dan
menjelaskan makna yang ma'qul. (Manna' al-Qathan, 1981:227). menurut Abu
Haya, tafsir secara istilah adalah ilmu yang membahas cara melafalkan
lafad-lafad al-Qur'an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan
dilalah (petunjuk) yang dzohir sebatas kemampuan manusia.
Adapun
fungsi tafsir adalah untuk mejelaskan segala yang disyariatkan oleh Allah
kepada manusia untuk ditaati dan dilaksanakan.(abd al-Hayyi al-Farmawi,
1977:16)
Seorang
mufassir (orang yang menafsirkan al-Quran) harus mengetahui dan memahani bahasa
arab dengan segala isinya, mengetahui ilmu sebab turun (asbabun nuzul), ilmu
qiroah, ilmu tauhid, ilmu nasikh dan mansukh, dan mengetahui hadits- hadits
nabi n. (Kafrawi Ridwan dkk, 1994: 30)
Seoarng
mufassir juga harus punya i'tiqod yang kuat, keikhlasan dan kemurnian tujuan,
mendasarkan tafsirnya kepada al-Sunah, dan punya wawasan yang luas di berbagai
ilmu bantu seperti bahasa arab dan yang lainnya.
Quraish
Shihab membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama, periode nabi
n, sahabat, dan tabi'in kira-kira sampai tahun 150 H yang di sebut dengan tafsir
bi al-ma'tsur. Departemen Agama Republik Indonesia menyebut periode pertama
ini dengan periode mutaqoddimin dan berlangsung dari masa nabi n sampai
kira-kira abad 4 H. Dari para ahli tafsir periode ini diantaranya adalah Ibnu
Mas'ud, Abdullah bin al-Abbas, Zaid bin Tsabit dll.
Selanjutnya
pada masa Tabi'in diantaranya adalah Abdurrohman bin Salam, Imam Malik bin Anas
di Madinah, kemudian datang masa selanjutnya yaitu masa tabi'ut tabi'in,
diantara mereka yang terkenal adalah Sufyan bin Uyyainah, Zaid bin Harun
Syu'bah bin Hajjad, dan Waqi' al-Jarroh hingga muncul pula Abu Ja'far Muhammad
bin Jarir at-Thobari (w.310 H) dengan buku beliau Jami'at al-Bayyan fi
Tafsir al-Qur'an.
Kedua, periode ketika hadits-hadits Rosul n telah tersebar luas
dan hadits-hadits palsu berkembang di masyarakat. Para ulama' tafsir kemudian
banyak berijtihad karena permasalahan adanya hadits palsu ini, hingga munculah
tafsir-tafsir yang coraknya berbeda dari corak yang pertama. (M Quroish shihab:
1995; 72) Departemen Agama Republik Indonesia menyebut periode ini denagan
periode mutaakhirin berlangsung dari abad 4-12 H.
Corak
tafsir yang muncul pada periodae ini diantaranya sebagai berikut.
- Corak kebahasaan, yaitu
penafsiran al-Qur'an dengan pendekatan gaya bahasa, keindahan bahasa, atau
tata bahasa, seperti Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamaksyari.
- Corak tafsir yang banyak
membahas tentang kisah umat terdahulu, seperti yang ditulis oleh
al-Tsalabi, 'Alaudin bin Muhammad al- Bagdadi.
- Corak fikih dan hukum, seperti Tafsir
Jami' al-Qur'an, Ahkam al-Qur'an, dan Nail al-Mahrom yang
masing-masing ditulis oleh al-Qurtubi, Ibnu 'Arobi dan al-Jashash, dan
Hasan Shidiq Khan.
- Corak tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah seperti Tafsir
Mafatih al-Ghoib karya Imam ar-Rozi (w.610 H)
- Corak tafsir yang
menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan tasawuf, seperti
tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad Sahl bin Abdullah al-Tsauri.
- Tafsir corak ghorib (yang
jarang dipakai dalam keseharian), seperti Mu'jam Ghorib al-Qur'an
oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi'.
Quraish
Shihab menambahkan beberapa corak lainnya yaitu, tafsir bercorak filsafat dan
teologi, tafsir ilmiyah, tafsir bercorak sastra budhaya kemasyarakatan, tafsir
tematik (maudlu'i), dan tafsir ilmi.
Dalam
peride ini muncul pula tafsir dari Muktazilah dan Syi'ah. Dari kelompok
Muktazilah diantaranya Tanzih al-Quran al-Mata'in karya Abdul Qosm
al-Thahir, al-Kasysyaf 'an Haqaiq al-Tanzil wa al-Uyun al-Aqwal fi Wujud
at-Ta'wil karya abul Qosim Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari. Adapun
kelompok syi'ah mereka banyak membahas tetang Ali bin Abi Tholib.
Departemen
Agama Republik Indonesia menambahkan adanya periode ketiga yang disebut dengan
Periode Baru yang dimulai dari abad 9 M. Periode ini juga dikenal dengan
Periode Kebangkitan Kembali. Diantara tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghoni,
Muhammad Abduh, Rosyid Ridho, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Dilihat
dari keterlibatan ro'yu dalam menafsirkan al-Quran, maka tafsir terbagi
menjadi dua, tafsir bi al-matsur dan tafsir bi al-ro'yi. Tafsir
kelompok pertama di antaranya ialah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an
karya at-Thobari. Adapun tafsir kedua (bi al-ro'yi ) di antaranya al-Bahru
al-Muhith karya andalusi, dan Mafatih al-Ghorib karya Fakhruddin
al-Rozi.
Kandungan AL-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada nabi
Muhammad selama kurang lebih 23 tahun terdiri atas 114 surat, 6236 ayat ,74437
kalimat dan 325345 huruf. Dari keseluruhan sisi dari al-Qur’an tersebut , Abdul
Wahab Khalaf membagi dalam tiga katagori kandungan al-Qur’an, antara lain:
a. Masalah kepercayaan(I’tiqadiyah), masalah ini berhubungan
dengan iman kepada Allah, Rasulullah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, hari
akhir dan takdir.
b. Etika(khuluqiyah), al-Qur’an sebagai subyek mejelaskan
tentang hal-hakl yang dijadikan perhiasan untuk berbuan keutamaan dan
meninggalkan kehinaan.
c.
Masalah perbuatan dan ucapan( amaliyah), masalah ini dibagi menjadi dua:
1. Masalah ibadah (masalah yang mengatur hubungaan antara
manusia dan tuhannya, seperti sholat, haji dan lain sebagainya)
2. Masalah muamalah(masalah yang mengatur hubungan
horizontal manusia), masalah ini masih dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu:
a). Masalah individu(al-ahwal al-syahshiyah)
b). Masalah perdata (madaniyah)
c). Masalah pidana (jinayah)
d). Masalah perundang-undangan(dusturiyah)
e). Masalah hukum acara(mu’farah)
f). Masalah sosial kemasyarakatan
g). Masalah ekonomi dan keuangan
Dalalah Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan dalalah
dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang
dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki.
Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau
makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami.
Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk
dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur
lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan
apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini
digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau
makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.
Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash,
maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
- Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai
kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima
secara mutawatir.
- Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang
menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi
penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash,
terbagi dua macam pula yaitu :
1.
Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang
keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2.
Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang
masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti
literalnya.
Dalam hubungan ini, bila dihubungkan
dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena
al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan
kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy
dalalah dan zanniy dalalah.
Umumnya nash-nash al-Qur’an yang
dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya
menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.
Salah satu contoh ayat yang qat’iy
al-dalalah :
ولكم
نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...
Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)
Ayat ini berbicara tentang pembagian
harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan
tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian
lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri,
yaitu jumlah tertentu.
Kemudian , nash al-Qur’an di samping
qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash
al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah
bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq.
Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian
yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak
nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada
bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh
berikut ini dapat dilihat secara jelas :
و
المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...
Wanita-wanita yang ditalak
(diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)
Yang menjadi persoalan di sini
adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung
arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci)
dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari
arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda.
Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya
lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena
penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara
berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafal quru
diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya
telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya
dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Pada prakteknya kalangan mazhab
Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena
berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait
dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan
hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara
itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci,
karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan)
sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr.
Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.
Dari contoh di atas dapat dipahami
bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi
peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam
mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum
yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
Alhamdulillah kami ucapkan
kehadirat Allah SWT dengan kekuasaannya dan dengan petunjuknya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini kita semua
dapat mengetahui dan memahami adanya pemahaman Al-Qur’an sebagai sumber ajaran
islam sehingga dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin penyajian
makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharap kritik dan saran
yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini juga dapat bermanfaat
bagi kita semua. Amin....
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita
ketahui bahwa al-Qur’an adalah kitab sici yang kompleks dan universal.
Al-Qur’an menjelaskan semua sisi-sisi kehidupan manusia baik yang berhubungan
dengan tuhan ataupun sesama manusia.
Sebagai kitab suci umat islam, sebaiknya
kita berusaha untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam
al-Qur’an tersebut. Karena hanya dengan menerapkan apa yang terkandung dalam
al-Qur’an lah umat islam akan mencapai visi utamanya didunia ini, yaitu untuk
menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Fungsi Al Quran meliputi: sebagai pedoman hidup dan pemberi petunjuk kepada
umat manusia, sebagai penjelas terhadap petunjuk tersebut, sebagai rahmat dan
kabar gembira bagi orang orang yang bertaqwa, sebagai penyempurna terhadap
kitab-kitab yabg telah turun sebelumnya serta sebagai mukjizat terakhir dan
terbesar bagi Nabi Muhammad SAW.
Daftar Pustaka
As-Shabuni, M. Ali, Al- Tibyan Fi
Ulum Al-Qur’an. Beirut, Dar Al-Arshad.
Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul
Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil
Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999
Saleh, Subhi, Mabahis Fi Ulum
Al-Qur’an. Mesir,Muassasah Ar-Risalah
Zainuddin, Muhadi.. Metodologi
Studi Islam. Yogyakarta,2011
0 komentar:
Posting Komentar