About

Most Popular

Rabu, 06 Mei 2015

MAKALAH MATA KULIAH STUDI ISLAM AL-QUR'AN SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM

                                                            KATA PENGANTAR
Bismillah1

        Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dengan berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan “MAKALAH MSI”. Shalawat beriring salam tidak lupa juga kami sanjungkan kepada keharibaan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini.
       Penulisan makalah ini dapat terselesaikan berkat kerja sama kelompok dalam mempartisipasikan diri baik secara waktu, pemikiran, bahkan secara financial yang tidak mengenal kata lelah sehingga terangkullah semua bahan yang dikreasikan dengan ide tim kelompok untuk menjadi sebuah makalah.
      Kata sempurna penulis dengan kerendahan hati sangat menyadari  masih jauh dari penulisan makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran guna untuk memperbaiki makalah ini ke masa yang akan datang. Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis sendiri dan kawan-kawan semua.

Banda Aceh, 09 November 2013

                                                                                                Kelompok 1






BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.
 Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.  Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara berangsur- angsur dalam tempo 23 tahun.
Turunnya di berbagai tempat. Kadangkala beriringan, kadang ada jarak waktu. Akan tetapi turun secara bertahap, tidak sekaligus, karena adanya hikmah yang telah disebutkan Allah dalam al-Quran al-Karim: Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya. (TQS. al-Furqan [25]: 32) Maksudnya, al-Quran diturunkan secara terpisah-pisah untuk Kami perkuatkan hati engkau (Muhammad) sehingga engkau menyadarinya dan menghafalnya. Allah Swt berfirman: Dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (TQS. al-Isra [17]:106).
            Maksudnya, al-Quran yang telah Kami turunkan secara berangsurangsur dan terpisah-pisah dengan cara perlahan-lahan, yaitu dengan proses, ketentuan dan ketetapan yang pasti. Kami telah menurunkannya tidak sekaligus. Maksudnya, sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi. Semua itu untuk mengukuhkan hati Rasulullah saw, untuk memudahkan pembacaannya terhadap manusia secara perlahan-lahan, dan diturunkan sesuai dengan peristiwa yang terjadi serta sebagai jawaban terhadap orang-orang yang bertanya. Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur dan terpisah-pisah dalam rentang waktu 23 tahun lamanya.
Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah saw, kemudian diperintahkan untuk menghafalnya di dalam dada, dan menuliskannya di lembaran yang bisa ditulis, seperti kulit, dedaunan atau yang lainnya, juga pada tulang yang lurus memanjang, pelepah kurma atau
pada batu tipis. Apabi la ayat-ayat telah diturunkan, beliau memerintahkan untuk meletakkan pada tempat kedudukan suratsuratnya.
 Beliau berkata kepada para sahabat: ‘Urutkanlah oleh kalian ayat ini pada surat ini setelah ayat ini’. Mereka lalu meletakkan ayat tersebut sesuai pada tempat suratnya. Dari Utsman ra berkata, adalah Nabi saw setelah menerima ayat-ayat, beliau bersabda: ‘Letakkan ayat ke dalam surat yang menyebutkan tentang ini’ (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Begitulah seterusnya hingga al-Quran diturunkan seluruhnya sampai Rasul wafat, ber temu dengan Dzat Yang Mahatinggi, setelah al-Quran mencapai titik kesempurnaannya. Jadi, susunan ayat-ayat yang terkandung dalam setiap surat pada mushaf sekarang ini adalah bersifat tauqifi dari Nabi saw melalui malaikat Jibril yang berasal dari Allah Swt.
 Dengan kata lain sistematika (susunannya) berasal dari Allah Swt. Seluruh ayat (al-Quran) telah sampai kepada umat melalui Nabi saw dan sama sekali tidak ada perselisihan. Susunan ayat-ayat di dalam surat-surat seperti yang kita lihat sekarang ini merupakan bentuk yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. Susunan seperti itu pula yang tertulis pada lembaranlembaran,tulang-tulang, daun-daun, batu tipis maupun yang telah dihafal di dalam dada. Karena itu susunan ayat-ayat yang terdapat di dalam surat-surat merupakan kepastian dan bersifat tauqifi dari Rasulullah, dari Jibril dan dari Allah Swt.





BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Al-Qur’an
a. Pengertian al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
1)Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran. Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
ان عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَه . فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَه
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut” (al-Qiyamah: 17-18)
2)Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw untuk memberi petunjuk kepadamanusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar. Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.
Kehujjahan Al-Qur’an
Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf,bahwa kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Qur’an itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qat’iy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Qur’an diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Bagi Mu’tazilah al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya –di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
Metode Penafsiran Al-Qur’an
Dalam perkembangannya metode tafsir terbagi dalam empat metode, yaitu:
1. Metode Ijmaly(Global)
Metode ijmaly adalah metode yang menjelaskan al-Qur’an secara ringkas, tetapi mencangkup semua, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menuruti susunan ayat-ayat dalam mushaf .
2. Metode Tahlily(Analisis)
Metode tahlily adalah metode penafsiran ayat- ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercangkup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dalam menafsirkan ayat.
3. Metode Muqarin(Komperatif)
Definisi metode ini jika dilihat dari berbagai temperatur dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Membandingkan teks(nash) ayat-ayat al-Qur’an yan memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih atau redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
b. Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang pada lahirnya terdapat pertentangan.
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
4. Metode Maudlu’i(Tematik)
Metode Tematik dapat difahami sebagai pembahasan yang berkisar pada tema yang telah ditetapkan.
5. Metode Terjemah
Terjemah memunyai beberapa makna sebagai berikut:
a. Menyampaikan pembicaraan kepada orang yang belum pernah menerimanya.
b. Menjelaskan kalam dengan memakai bahasa kalam itu sendiri. Seperti menafsirkan al-Qur’an dengan bahasa al-Qur’an(bahasa arab) termasuk dalam menerjemahkan .
c. Menjelaskan kalam dengan bahasa lain. Misalnya menerjemahkan kedalam bahasa indonesia besert apenjelasannya.
d. Menaglihkan pembicaraan dari satu bahasa kebahasa lainnya(alih bahasa).
Terjemah dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Terjemah Harfiyyah
Terjemah harfiyyah adalah terjemah yang dalam pengungkapan maknanyaterlalu terikat dengan suasana kata perkata yang ada pada bahasa pertama dan makna-makna yang terungkap hanya berupa kosakata. Terjemah ini dalam praktiknya hanya menyoroti kata perkata yang ada, lalu memahaminya satu-persatu.
2. Terjemah Tafsiriyyah
Terjemah tafsiriyyah adalah tejemah yang tidak terikat dengan suasana kata perkata yang ada dalam bahasa pertama. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana mengungkapkan makna-makna yang dikehendaki dengan sebai-baiknya. Sehingga disebut juga dengan terjemah ma’nawiyyah, karena dalam penggambaran makna-makna yang dikehendaki itu menjadikannya serupa dengan tafsir, walaupun bukan tarsir.
Inti dari terjemah adalah menjelaskan dari satu bahasa yang tak dikuasai kedalam bahasa yang dikuasai.
F. Metode Ta’wil
Ta’wil secara etimologi memunyai pengertian yang sama dengan tafsir yakni menerangkan dan menjelaskan. Kata ta’wil sendiri memiki makna memalingkan, yakni memalingkan suatu lafad tertentu yang memunyai sifat khusus, dari makna lahir kedalam makna batin lafaz itu karenaa ada ketepatan dan keserasian dengan maksud yang dituju.
A. Fungsi Al-Qur’an
       Subhi Sholih mengemukakan bahwa Al-Qur'an berarti bacaan. Ia merupakan kata turunan dari kata qara'a dengan arti ism al-maf'ul, yaitu maqru' yang artinya dibaca. Pengertian ini merujuk pada firman Allahk :
Sesungguhnya atas tangguhan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu.” (QS al-Qiyamah: 17-18)
Selanjutnya kata al-Qur'an digunakan untuk menunjukkan kalam Allahkyang diwahyukan kepada Nabi Muhammad n, adapun kalam Allahkyang diwahyukan kepada para Nabi selainya, maka tidak dinamakan al-Qur'an.
Fath Ridwan menyebutkan ikhtilaf ulama' tentang penamaan al-Qur'an: Pertama, al-Qur'an adalah nama khusus untuk wahyu Allahkyang diberikan kepada nabi Muhammad n. Kedua, nama diambil dari kata qoro'in (petunjuk atau indikator) atau dari kata al-qor'u (kumpulan). Ketiga, ulama' yang memberikan nam-nama lain bagi al-Qur'an, seperti al-kitab, an- nur, ar- rohmah dll.
Adapun Abu Hasan al-Haroli dan Abd al-Ma'ali Syizalah masing-masing memberikan nama bagi al-Quran sebanyak 90 dan 55 macam. Menurut Shubhi Sholih penamaan yang begitu banyak akan menimbulkan pencampuradukan antara nama-nama dan sifat-sifat al-Qur'an sehingga ia kurang setuju dengan hal itu.

Fungsi al-Qur'an sesungguhnya telah tersirat pada nama-nama tersebut, diantaranya:
a. al-Huda (petunjuk). Dalam fungsi ini ada tiga kategori, pertama, al-Qur'an sebagai petunjuk manusia secara umum (al-Baqoroh:185). Kedua, al-Qur'an petunjuk bagi orang -orang yang bertakwa (al-Baqoroh:2). Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman (Fushilat: 44 dan Yunus: 57).
b. al-Furqon (pembeda). Disebutkan dalam al-Qur'an bahwa ia adalah pembeda antara yang hak dengan yang batil (QS. al-Baqoroh :185)
c. al-Syifa (obat). Al-Qur'an juga sebagai obat penyakit dalam dada/psikologis (QS. Yunus:57)
d. al-Mauidzoh (nasihat). Al-Qurann juga sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertakwa (QS.Ali Imron: 138)
Demikian fungsi al-Quran yang diambil dari al-Quran itu sendiri, adapun fungsi al-Quran yang diambil dari penghayatan seseorang, maka itu tergantung dengan kualitas ketakwaan orang itu sendiri.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad tidak hanya ditujukan bagi umat islam saja, melainkan kepada seluruh umat manusia. Hal ini selaras dengan funsi diturunkannya al-Qur’an, yakni:
a. Sebagai bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajaran yang dibawanya.
b. Petunjuk tentang ketauhidan.
c. Petunjuk tentang akhlakul karimah yang menerangkan konsep hubungan individu atau kelompok secara vertikal dan horizontal
d. Petukjuk syariah yang memberikan jalan keadilan demi terciptanya hidup yang teratur dan damai.
Fungsi al-Qur’an dapat kita simpulkan sebagai: Hujjah umat manusia yang merupakan sumber nilai obyektif, universal dan abadi. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an yang merupakan sumber ilmu. Ayat-ayat Allah terbagi menjadi dua macam: ayat-ayat qouniyah dan qouliyah. Dalam al-Qur’an menjadi sumber dari berbagai aturan tentang hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, moral dan sebagainya yang harus dijadikan pedoman umat manusia dalam memecahkan masalah.
B. AL-QUR'AN SEBAGAI FIRMAN ALLAH
Ulama menyebutkan bahwa hakikat al-Qur'an adalah kalam Allahkyang disampaikan kepada nabi Muhammad n. Al-Quran penuh dengan ilmu dan bebas dari keraguan (QS al-Baqoroh:2), kecurangan (QS An-Naml:1), pertentangan (QS. an-Nisa': 82), dan kejahilan (QS asy-Syura:210).
Al-Quran itu murni firman Allahkdan bukan ciptaan Muhammad n. Allahkmenantang dan mengancam siapa saja yang meragukan atau menentang otentisitas al-Quran sebagai firman Allahk dalam surat al-Baqoroh: 23-24.
Ada pula manusia yang meragukan dan menganggap bahwa al-Quran telah diintervensi manusia, kemudian Allahkmenjamin bahwa al-Quran itu terpelihara dengan sebaik-baiknya (QS. Al-Hijr: 9)-.

C.'ULUM AL-QUR'AN DAN TAFSIR
Al-Quran diturunkan secara bertahap dan ia tidak hampa dari sosial, sehingga banyak dijumpai ayat yang turun sebagai jawaban dari permasalahan manusia. Proses pewahyuan berlangsung 23 tahun, 13 tahun di Makah sebelum nabi n hijroh ke Madinah, dan 10 tahun setelah nabi hijroh ke Madinah.(Muhaimin dkk, 1994;89)
M. Quraish Shihab (1995; 35-38) membagi proses pewahyuan menjadi tiga periode. Pertama, periode saat Muhammad n bersetatus Nabi dengan diterimanya surat al-Alaq, kemdian menjadi rosul setelah menerima QS al-Muddatsir 1-2. Inilah ayat-ayat makiyyah yang mengandung tiga hal yaitu pedidikan bagi rosul, pengetahuan tentang Allahk , dan ajaran tentang dasar-dasar akhlak islamiyah.
Kedua, periode pertarungan antara umat islam dengan orang jahiliyah sekitar 8-9 tahun. Hal ini ada dalam surat an-Nahl: 25, Fushilat: 13, Yasin 78-82.
Ketiga, peride kebebasan umat islam di Madinah yaitu sekitar 10 tahun, ayat-ayat yang turun disebut ayat madaniyyah.
M. Quroish Shihab menyebutkan bahwa al-Qur'an mengandung 77.439 kata dan 323.015 huruf. Menurut Abd al-Rohman as-Salami, al-Suyuti, dan al-Lusi secara berturut-turut jumlah ayat al-Qur'an adalah 6.326 ayat, 6000 ayat, 6.616 ayat. Perbedaan disebabkan masuk dan tidaknya kalimat basmalah dan fawatir al-suwar. Kemudian Jumlah ayat dibagi jadi 554 ruku', 30 juz dan 114 surat.
Dilihat dari panajg pendknya dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
  1. Al-Sab'al tiwal, yaitu tujuh surat panjang seperti al-Baqoroh, ali Imron, an-Nisa', al-A'rof, al-An'am, al-Maidah, dan Yunus.
  2. Al-Mi'un, surat-surat yang memuat 100 ayat lebih seperti surat Hud, Yusuf, dan al-Mu'min.
  3. Al-Matsani, surat yang kurang dari 100 ayat seperti al-Anfal dan al-Hijr.
  4. Al-Mufashol, surat-surat pendek seperti an-Nas, al-Falaq, dan al-Kafirun.
Cara turunnya wahyu ada empat macam, yaitu:
  1. Malaikat memasukan wahyu kedada nabi Muhammad n.
  2. Malaikat datang dengan bentuk seorang laki-laki kepada Muhammad n.
  3. Malaikat menampakkan dirinya dengan rupa aslinya.
  4. Wahyu datang kepada nabi seperti gemerincing lonceng.
Pada masa nabi n al-Qur'an hanya di tulis di pelepah kurma, lempengan batu, dan kepingan tulang serta dihafal, hingga datang masa khulfaurrosyidin al-Qur'an dibukukan. Pada masa Abu Bakar baru proses pengumpulan dalam bentuk mushaf dan disimpan di rumah Abu Bakar. Pada zaman Umar bin Khotob mushaf disimpan di rumahnya dan setelah belilau meninggal dunia disimpan di rumah Hafsoh. Hingga datang zaman Utsman bin Affan al-Quran baru disempurnakan dan disebut dengan mushaf utsmani. Kemudian digandakan dan dikirim ke berbagai wilayah kaum muslimin dan dijadikan standar untuk pencetakan pada tahun-tahun setelahnya.
Beralih ke kandungan ayat, menurut tim yang dibentuk oleh Departemen Agama Republik Indonesia (1985; 84-85) al-Qur'an mengandung pesan-pesan tentang tauhid, ibadah, jalan kebahagiaan dunia akhirat dan cerita tentang sejarah orang-orang terdahulu.
Diliahat dari sisi jalas dan tidaknya, para ulama mengelompokkan ayat-ayat al-Qur'an menjadi dua; ayat-ayat yang jelas (muhkamat) dan yang membutuhkan tafsiran lebih lanjut (mutasyabihat).
Adapun pengertian tafsir secara bahasa adalah penjelasan dan keterangan (al-idlah wa al-bayan) (Muhammad Husaeni al-Dzahabi, 1976:13). Dia berasal dari wazan taf'il dari kata fassara yang berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan makna yang ma'qul. (Manna' al-Qathan, 1981:227). menurut Abu Haya, tafsir secara istilah adalah ilmu yang membahas cara melafalkan lafad-lafad al-Qur'an serta menerangkan makna yang dimaksudnya sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang dzohir sebatas kemampuan manusia.
Adapun fungsi tafsir adalah untuk mejelaskan segala yang disyariatkan oleh Allah kepada manusia untuk ditaati dan dilaksanakan.(abd al-Hayyi al-Farmawi, 1977:16)
Seorang mufassir (orang yang menafsirkan al-Quran) harus mengetahui dan memahani bahasa arab dengan segala isinya, mengetahui ilmu sebab turun (asbabun nuzul), ilmu qiroah, ilmu tauhid, ilmu nasikh dan mansukh, dan mengetahui hadits- hadits nabi n. (Kafrawi Ridwan dkk, 1994: 30)
Seoarng mufassir juga harus punya i'tiqod yang kuat, keikhlasan dan kemurnian tujuan, mendasarkan tafsirnya kepada al-Sunah, dan punya wawasan yang luas di berbagai ilmu bantu seperti bahasa arab dan yang lainnya.
Quraish Shihab membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama, periode nabi n, sahabat, dan tabi'in kira-kira sampai tahun 150 H yang di sebut dengan tafsir bi al-ma'tsur. Departemen Agama Republik Indonesia menyebut periode pertama ini dengan periode mutaqoddimin dan berlangsung dari masa nabi n sampai kira-kira abad 4 H. Dari para ahli tafsir periode ini diantaranya adalah Ibnu Mas'ud, Abdullah bin al-Abbas, Zaid bin Tsabit dll.
Selanjutnya pada masa Tabi'in diantaranya adalah Abdurrohman bin Salam, Imam Malik bin Anas di Madinah, kemudian datang masa selanjutnya yaitu masa tabi'ut tabi'in, diantara mereka yang terkenal adalah Sufyan bin Uyyainah, Zaid bin Harun Syu'bah bin Hajjad, dan Waqi' al-Jarroh hingga muncul pula Abu Ja'far Muhammad bin Jarir at-Thobari (w.310 H) dengan buku beliau Jami'at al-Bayyan fi Tafsir al-Qur'an.
Kedua, periode ketika hadits-hadits Rosul n telah tersebar luas dan hadits-hadits palsu berkembang di masyarakat. Para ulama' tafsir kemudian banyak berijtihad karena permasalahan adanya hadits palsu ini, hingga munculah tafsir-tafsir yang coraknya berbeda dari corak yang pertama. (M Quroish shihab: 1995; 72) Departemen Agama Republik Indonesia menyebut periode ini denagan periode mutaakhirin berlangsung dari abad 4-12 H.
Corak tafsir yang muncul pada periodae ini diantaranya sebagai berikut.
  1. Corak kebahasaan, yaitu penafsiran al-Qur'an dengan pendekatan gaya bahasa, keindahan bahasa, atau tata bahasa, seperti Tafsir al-Kasysyaf oleh Zamaksyari.
  2. Corak tafsir yang banyak membahas tentang kisah umat terdahulu, seperti yang ditulis oleh al-Tsalabi, 'Alaudin bin Muhammad al- Bagdadi.
  3. Corak fikih dan hukum, seperti Tafsir Jami' al-Qur'an, Ahkam al-Qur'an, dan Nail al-Mahrom yang masing-masing ditulis oleh al-Qurtubi, Ibnu 'Arobi dan al-Jashash, dan Hasan Shidiq Khan.
  4. Corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah seperti Tafsir Mafatih al-Ghoib karya Imam ar-Rozi (w.610 H)
  5. Corak tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad Sahl bin Abdullah al-Tsauri.
  6. Tafsir corak ghorib (yang jarang dipakai dalam keseharian), seperti Mu'jam Ghorib al-Qur'an oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi'.
Quraish Shihab menambahkan beberapa corak lainnya yaitu, tafsir bercorak filsafat dan teologi, tafsir ilmiyah, tafsir bercorak sastra budhaya kemasyarakatan, tafsir tematik (maudlu'i), dan tafsir ilmi.
Dalam peride ini muncul pula tafsir dari Muktazilah dan Syi'ah. Dari kelompok Muktazilah diantaranya Tanzih al-Quran al-Mata'in karya Abdul Qosm al-Thahir, al-Kasysyaf 'an Haqaiq al-Tanzil wa al-Uyun al-Aqwal fi Wujud at-Ta'wil karya abul Qosim Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari. Adapun kelompok syi'ah mereka banyak membahas tetang Ali bin Abi Tholib.
Departemen Agama Republik Indonesia menambahkan adanya periode ketiga yang disebut dengan Periode Baru yang dimulai dari abad 9 M. Periode ini juga dikenal dengan Periode Kebangkitan Kembali. Diantara tokohnya adalah Jamaluddin al-Afghoni, Muhammad Abduh, Rosyid Ridho, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Dilihat dari keterlibatan ro'yu dalam menafsirkan al-Quran, maka tafsir terbagi menjadi dua, tafsir bi al-matsur dan tafsir bi al-ro'yi. Tafsir kelompok pertama di antaranya ialah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya at-Thobari. Adapun tafsir kedua (bi al-ro'yi ) di antaranya al-Bahru al-Muhith karya andalusi, dan Mafatih al-Ghorib karya Fakhruddin al-Rozi.
Kandungan AL-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun terdiri atas 114 surat, 6236 ayat ,74437 kalimat dan 325345 huruf. Dari keseluruhan sisi dari al-Qur’an tersebut , Abdul Wahab Khalaf membagi dalam tiga katagori kandungan al-Qur’an, antara lain:
a. Masalah kepercayaan(I’tiqadiyah), masalah ini berhubungan dengan iman kepada Allah, Rasulullah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, hari akhir dan takdir.
b. Etika(khuluqiyah), al-Qur’an sebagai subyek mejelaskan tentang hal-hakl yang dijadikan perhiasan untuk berbuan keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c. Masalah perbuatan dan ucapan( amaliyah), masalah ini dibagi menjadi dua:
1. Masalah ibadah (masalah yang mengatur hubungaan antara manusia dan tuhannya, seperti sholat, haji dan lain sebagainya)
2. Masalah muamalah(masalah yang mengatur hubungan horizontal manusia), masalah ini masih dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu:
a). Masalah individu(al-ahwal al-syahshiyah)
b). Masalah perdata (madaniyah)
c). Masalah pidana (jinayah)
d). Masalah perundang-undangan(dusturiyah)
e). Masalah hukum acara(mu’farah)
f). Masalah sosial kemasyarakatan
g). Masalah ekonomi dan keuangan
Dalalah Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami.
Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qat’iy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nash-nash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.
Tentang terma qat’iy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
  1. Qat’iy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.
  2. Qat’iy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu :
1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir
2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya.
Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Qur’an dari segi keberadaannya adalah qat’iy al-Wurud karena al-Qur’an itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Qur’an dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qat’iy dalalah dan zanniy dalalah.
Umumnya nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan qat’iy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis.
Salah satu contoh ayat yang qat’iy al-dalalah :
ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد ...
Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak … (QS. Al-Nisa : 12)
Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qat’iy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu.
Kemudian , nash al-Qur’an di samping qat’iy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk ‘am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Qur’an yang dikategorikan zanniy al-dalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :
و المطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء ...
Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)
Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata “quru” yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan “al-Tohr” (suci) dan kadang-kadang diartikan pula al-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa ‘iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada arti haid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali.
Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa ‘iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih).
Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran ‘iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafi’i berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-ma’dud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda.





BAB III
PENUTUP
Alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT dengan kekuasaannya dan dengan petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini kita semua dapat mengetahui dan memahami adanya pemahaman Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sehingga dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin penyajian makalah ini jauh dari kesempurnaan untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini juga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin....

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa al-Qur’an adalah kitab sici yang kompleks dan universal. Al-Qur’an menjelaskan semua sisi-sisi kehidupan manusia baik yang berhubungan dengan tuhan ataupun sesama manusia.
Sebagai kitab suci umat islam, sebaiknya kita berusaha untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut. Karena hanya dengan menerapkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an lah umat islam akan mencapai visi utamanya didunia ini, yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai rahmat bagi semesta alam.
Fungsi Al Quran meliputi: sebagai pedoman hidup dan pemberi petunjuk kepada umat manusia, sebagai penjelas terhadap petunjuk tersebut, sebagai rahmat dan kabar gembira bagi orang orang yang bertaqwa, sebagai penyempurna terhadap kitab-kitab yabg telah turun sebelumnya serta sebagai mukjizat terakhir dan terbesar bagi Nabi Muhammad SAW.



Daftar Pustaka
As-Shabuni, M. Ali, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an. Beirut, Dar Al-Arshad.
Khallaf, Abdul Wahab,‘Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, 1990
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I. 1999
Saleh, Subhi, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Mesir,Muassasah Ar-Risalah
Zainuddin, Muhadi.. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta,2011



0 komentar:

Posting Komentar